07 April 2011

KANIBALISME SEKSUAL: KASUS PADA BELALANG SEMBAH DAN BEBERAPA ARTHROPODA LAINNYA

APAKAH INI TERJADI SEMATA-MATA KARENA PENGARUH SELEKSI ALAM? ATAU APAKAH INI TERJADI KARENA ADANYA SELEKSI SEKSUAL? APAKAH SEBUAH PENGORBANAN DEMI KONTRIBUSI GENETIK KEPADA KETURUNANNYA ATAU HANYA SEBUAH KONTRIBUSI SEKSUAL YANG MEMBAWA MAUT?

Yos F. da Lopes. Jurusan MPLK – Politeknik Pertanian Negeri Kupang.


Kanibalisme seksual (pada Belalang Sembah dan beberapa Arthropoda) adalah kasus khusus dari kanibalisme dimana organisme betina membunuh dan mengkonsumsi jantan dari spesies yang sama sebelum, selama, atau setelah kopulasi. Pada kesempatan yang langka, peran ini dapat terbalik (Suttle, 1999; Min-Li Tsai & Chang-Feng Dai, 2003). Meskipun ada beberapa spesies dimana kanibalisme seksual adalah normal, pembalikan peran tersebut tidak normal secara keseluruhan.

PREVALENSI KANIBALISME SEKSUAL

Walaupun bentuk-bentuk kanibalisme tersebar luas didalam kerajaan hewan, kanibalisme seksual telah didokumentasikan hanya pada Arachnida, Insecta, dan Amphipoda, meskipun bukti yang bersifat anekdot juga menunjukkan eksistensinya pada Gastropoda dan Copepoda (Suttle, 1999).

Meskipun aneh, kanibalisme seksual adalah hal yang umum pada banyak famili laba-laba dan kalajengking, dan dapat memiliki efek yang penting pada ukuran populasi dan rasio seks (jenis kelamin). Pada serangga, kanibalisme seksual betina terhadap jantan diamati pada belalang sembah, tetapi kanibalisme sebaliknya (jantan terhadap betina) jarang atau bahkan tidak terjadi. Pada sebagian besar spesies, kanibalisme seksual berkaitan dengan ukuran tubuh betina yang lebih besar karena dimorfisme seksual (Suttle, 1999; Maxwell; Crump, 2005; Elgar & Crespi, 1992).

Beberapa ilmuwan meremehkan pentingnya kanibalisme seksual. Stephen Jay Gould melalui artikelnya “Only his wings remained” dalam “Natural History” (1984), berpendapat bahwa kanibalisme seksual terlalu jarang untuk menjadi signifikan dan mengatakan ahli biologi telah menjadi "terlalu bersemangat tentang kekuatan dan jangkauan seleksi dengan mencoba untuk menghubungkan setiap bentuk yang signifikan dan perilaku terhadap aksi sebenarnya”.

Penelitian selanjutnya bertentangan dengan pendapat ini dan menunjukkan bahwa pada beberapa spesies yang kanibal secara seksual, jantan menjadi sumber makanan penting bagi betina. Sebuah studi lain memperkirakan bahwa sekitar 63 persen dari makanan belalang sembah Cina betina (Tenodera sinensis) adalah belalang sembah jantan yang berasal dari spesies yang sama (Zimmer, 2006).

KEUNTUNGAN KANIBALISME SEKSUAL

Karena kanibalisme seksual terjadi pada beberapa spesies dengan taksa yang berbeda, jelas bahwa harus ada beberapa pengaruh evolusi untuk itu. Namun, belum dipahami apakah ini terjadi semata-mata karena pengaruh seleksi alam, atau apakah karena adanya seleksi seksual. Ketika  kanibalisme seksual dilihat melalui aspek seleksi alam, sifat tersebut akan bermanfaat jika dengan memungkinkan dirinya untuk dikonsumsi, jantan meningkatkan kontribusi genetiknya kepada generasi berikutnya. Terdapat sejumlah acuan (Wilder & Elgar, 2009) tentang bagaimana hal ini terjadi, namun yang utama adalah:
  1. Nutrisi – telah diperlihatkan bahwa kanibalisme seksual mungkin terjadi hanya karena kebutuhan akan makanan (Newman, 1991).
  2. Seleksi alam - dengan membiarkan dirinya untuk dimakan, jantan mungkin dapat memberikan nafkah bagi betina, meningkatkan baik fekunditas maupun kebugaran betina itu sendiri.
  3. Penambahan waktu kawin - beberapa jantan, dengan membiarkan dirinya untuk dikonsumsi, dapat meningkatkan jumlah waktu yang digunakan untuk mentransfer sperma ke betina, dan dengan demikian lebih banyak membuahi sel telur (Andrade, 1996).
Kanibalisme pra-kawin (premating cannibalism) telah dianggap sebagai sebuah keputusan untuk mendapatkan makanan, suatu produk sampingan dari seleksi alam untuk agresivitas dan bahkan kasus kesalahan identitas. Beberapa kanibalisme seksual mungkin persoalan tentang betina yang berhubungan dengan jantannya lebih sebagai makanannya daripada sebagai pasangannya. Bagaimanapun, kanibalisme dan kawin adalah perilaku yang tidak saling eksklusif, dan berkali-kali, jantan dimakan selama atau setelah kawin (Persons & Uetz, 2005).

Karena spesifikasi kanibalisme seksual bervariasi menurut spesies, asal mula evolusinya menjadi kabur. Kenwyn Blake Suttle dalam bukunya "The Evolution of Sexual Cannibalism" (1999), menyatakan bahwa:

“...kanibalisme seksual mengambil berbagai bentuk yang berkaitan dengan peran dan perilaku dari setiap jenis kelamin, manfaat potensial untuk setiap jenis kelamin, dan urutan waktu dalam kopulasi… Karena perbedaan ini, peneliti telah mengusulkan banyak jalur untuk evolusinya, sering bertentangan dengan kekuatan seleksi yang bekerja pada jenis kelamin yang berbeda dan spesies yang berbeda. Dengan beberapa model yang saling bertentangan dan meningkatnya sejumlah studi empiris yang mencoba untuk menjelaskan asal-usulnya dan pemeliharaan pada serangga dan arakhnida, evolusi kanibalisme seksual tetap menjadi bahan perdebatan”

Strategi reproduksi jantan dan betina sering berbeda, berakibat pada asimetris waktu dan energi yang dibutuhkan antara kedua jenis kelamin tersebut. Sebagai strategi adaptif betina, kanibalisme seksual mudah dimengerti. Ini berkaitan dengan keterlibatan jantan yang telah lama menjadi fokus penyelidikan evolusi kanibalisme seksual (Suttle, 1999).

Dengan menjadi makanan bagi lawan jenisnya, jantan kehilangan setiap peluang kawin untuk masa berikutnya. Kanibalisme seksual disokong oleh seleksi alam ketika kanibalisme tersebut secara signifikan meningkatkan daya hidup telur yang dibuahi oleh sperma jantan yang dikanibalisasi. Model ini hanya berlaku untuk situasi dimana kanibalisme terjadi setelah transfer sperma. Bagi jantan, kanibalisme seksual mungkin telah berkembang sebagai bentuk ekstrim dari investasi paternal (orang tua). Jika pengorbanan jantan secara signifikan meningkatkan kualitas atau kuantitas keturunannya, kanibalisme seksual bisa menjadi strategi adaptif jantan daripada menghasilkan konflik kepentingan antar jenis kelamin (Suttle, 1999; Thornhill, 1976).

Akan tetapi, terdapat kesulitan dengan hipotesis berikut ini (Arnqvist & Rowe, 2005):
  1. Jantan dicegah (kehilangan kesempatan) dari perkawinan lebih lanjut.
  2. Jantan sering mencoba untuk menghindari kanibalisme oleh betinanya, menunjukkan bahwa itu tidak menguntungkan baginya.
  3. Jantan biasanya dimakan sebelum mereka dapat kawin.
Melalui bukti ini mungkin menunjukkan kasus konflik seksual, tetapi masih tetap tidak jelas apakah hal ini terjadi.

STRATEGI JANTAN MENGHINDARI KANIBALISME SEKSUAL

Jonathan P. Lelito dan William D. Brown, lewat artikelnya  “Complicity or conflict over sexual cannibalism? Male risk taking in the praying mantis Tenodera aridifolia sinensis” dalam “ The American Naturalist” (2006), menulis:

“…belalang sembah jantan aktif menilai variasi risiko dan mengubah perilakunya untuk mengurangi kemungkinan menjadi korban kanibalisme ...Jantan jelas tidak terlibat dalam hal ini, dan tindakan kanibalisme seksual pada belalang sembah adalah contoh konflik ekstrim antara kedua jenis kelamin.”

Jantan dari spesies arthropoda yang kanibal secara seksual menggunakan strategi yang beragam untuk mengurangi kesempatan menjadi korban kanibalisme seksual. Kalajengking jantan kadang-kadang menyengat betina sewaktu mendepostikan spermanya kepada betina. Jantan dari laba-laba hitam (black widow spider, Aranae: Theridiidae ) dan laba-laba kepiting (crab spiders, Araneae: Thomisidae) sering mengekang betinanya menggunakan benang-benang sutranya sebelum kopulasi. Beberapa laba-laba memiliki rahang khusus yang terus membuka rahang betinanya selama kopulasi. Lainnya lebih memilih kawin saat betina dalam “ecdysis” (molting atau pergantian kulit) sehingga kanibalisme secara fisik tidak mungkin terjadi. Beberapa laba-laba dan belalang sembah menunda waktu kawinnya sampai betina mendapatkan item mangsanya yang lain (Suttle, 1999; Crump, 2005; Sierwald, 1997). Beberapa laba-laba jantan, khususnya laba-laba pembuat jaring (nursey web spiders, Aranae: Pisauridae), mengelabui kanibalisme oleh betinanya dengan memberikan makanan pengalih.

Jantan pada beberapa spesies, ukurannya sangat kecil jika dibandingkan dengan betinanya. Betina dari laba-laba emas (golden orb-web spiders, Araneae: Nephilidae, genus Nephila) 20 kali lebih berat daripada jantannya (Elgar & Fagey, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa laba-laba berukuran kecil lebih lincah dan mampu bermain “petak umpet (hide and seek)” seperti tertuang dalam “The Descent of Man and Selection in Relation to Sex” oleh Charles R. Darwin (1871).

Sementara itu, jantan dari spesies tertentu terlibat dalam kanibalisme seksual sehingga perilaku tidak dijadikan sebagai model untuk semua kanibalisme seksual. Bahkan dalam spesies tertentu, termasuk belalang sembah (praying mantids), laba-laba hitam (black widow spiders), laba-laba loncat (jumping spiders), dan kalajengking (scorpions) dimana kanibalisme diketahui untuk meningkatkan jumlah dan/atau kelangsungan hidup keturunannya, jantan mendekati betina secara hati-hati dan cepat mundur setelah kopulasi. Pada kanibalisme seksual laba-laba hitam, Latrodectus mactans, jantan yang bertahan hidup (tidak terkanibalisasi) dalam kopulasi sering membuahi beberapa betina (Suttle, 1999; Forster, 1985).

PEMBALIKAN PERAN KANIBALISME SEKSUAL

Sedikitnya terdapat satu kasus dokumentasi terhadap apa yang masih disebut kanibalisme seksual dimana jantan kadang-kadang memakan betinanya. Untuk kasus ini, Min-Li Tsai & Chang-Feng Dai melalui artikelnya "Cannibalism within mating pairs of the parasitic isopod Ichthyoxenus fushanensis" dalam “Journal of Crustacean Biology” (2003), menulis:

“Dua tipe kanibalisme seksual, berbeda dalam jenis kelamin yang dimakan, ditemukan di antara pasangan heteroseksual dari parasit Isopoda Ichthyoxenus fushanensis ...Pada tipe pertama, dikategorikan sebagai kanibalisme seksual, jantan dimakan oleh betina sebelum atau setelah kawin. Pada tipe kedua, kebalikan dari tipe pertama, betina dimakan oleh jantannya selama atau setelah kawin. Kedua jenis kanibalisme tersebut terjadi selama musim kawin...Karena seekor individu I. fushanensis mengalami perubahan jenis kelamin protandrous, perilaku kanibalisme tidak bisa berevolusi dalam menanggapi seleksi baik pada seksualitas jantan ataupun betina. Sebaliknya, kedua tipe kanibalisme dapat dianggap sebagai akibat dari persaingan antara pasangan individu, yang tampaknya merupakan produk sampingan dalam evolusi dari strategi reproduksi daripada konsekuensi seleksi seksual.”

23 Maret 2011

TIPE-TIPE LARVA DALAM GAMBAR



Copyright © Yos F. da Lopez 2011 - Politeknik Pertanian Negeri Kupang
 

A. Campodeiform; B. Scarabeiform; C. Elateriform
Copyright © Yos F. da Lopez 2011 - Politeknik Pertanian Negeri Kupang


Copyright © Yos F. da Lopez 2011 - Politeknik Pertanian Negeri Kupang


Copyright © Yos F. da Lopez 2011 - Politeknik Pertanian Negeri Kupang


Copyright © Yos F. da Lopez 2011 - Politeknik Pertanian Negeri Kupang




Author:
Yos F. da Lopes. Copyright©2011. Jurusan MPLK – Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jalan Adisucipto Penfui P.O. Box 1152 Kupang 85001 Email: brench_copa76@yahoo.com


SISTEM REPRODUKSI PADA SERANGGA

REPRODUCTIVE SYSTEM IN INSECTS


Walaupun beragam tampilannya, organ reproduksi serangga memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan organ reproduksi pada vertebrata: testis pada jantan menghasilkan sperma dan ovarium pada betina menghasilkan telur. Kedua jenis gamet  ini haploid dan uniseluler, tetapi telur biasanya memiliki volume yang  jauh lebih besar daripada sperma (Meyer, 2009).
Setiap  sistem reproduksi dapat bervariasi dalam bentuk (misalnya gonad dan kelenjar aksesori), posisi (misalnya tambahan kelenjar aksesori), dan jumlah (misalnya tabung ovarium atau testis, atau organ penyimpanan sperma) antara kelompok serangga yang berbeda, dan kadang-kadang bahkan di antara spesies yang berbeda dalam genus (Gullan  and Cranston,  2005). Dalam praktikum ini akan dilihat struktur dari sistem reproduksi jantan dan betina pada belalang (Orthoptera: Acrididadae).


Gambar 1. Sistem reproduksi jantan pada belalang (Orthoptera: Acrididae): A. Testis; B. Ejaculatory duct
Gambar 2. Sistem reproduksi betina pada belalang (Orthoptera: Acrididae): A. Ovarium; B. Spermatecha; C. bursa copulatrix

Gambar 1 dan 2 memperlihatkan sistem reproduksi pada belalang: sistem reproduksi jantan (Gambar 1) dan sistem reproduksi betina (Gambar 2). Organ reproduksi yang terlihat jelas adalah testis (Gambar 1A), ejaculatory duct (Gambar 1B), ovarium (Gambar 2A), spermatecha yang tergabung bersama kelenjar atau organ aksesori lainnnya (Gambar 2b) dan bursa copulatrix (Gambar 2C).

Sistem Reproduksi Jantan


Gambar 3. Sistem Reproduksi  Jantan: A. testes; 
B.  follicles; C. vasa efferentia; D. seminal vesicles; 
E. vasa deferentia; F. ejaculatory duct; 
G. aedeagus; H. accessory glands (Sumber: Meyer, 2009)
Sistem reproduksi jantan terdiri atas sepasang testis (Gambar 1A dan 3A) yang terletak di ujung belakang abdomen. Setiap testis mengandung unit-unit fungsional (folikel, Gambar 3B) dimana sperma dihasilkan. Sperma matang yang keluar dari testis melewati  saluran pendek (vas efferentia, Gambar 3C) dan mengumpul di ruang penyimpan (vesikula seminalis, Gambar 3D). Saluran yang sama (vas deferens, Gambar 3E) mengarah keluar dari vesikula seminalis, bergabung satu sama lain di sekitar pertengahan tubuh, dan membentuk saluran ejakulasi (ejaculatory duct, Gambar 1B dan 3F) tunggal yang mengarah keluar dari tubuh melalui organ kelamin jantan (aedeagus, Gambar 3G). 

Satu atau lebih pasangan kelenjar aksesori (accessory glands, Gambar 3H) biasanya berhubungan dengan sistem reproduksi jantan, yaitu organ-organ sekretori yang terhubung dengan sistem reproduksi melalui saluran pendek - beberapa mungkin menempel dekat testis atau vesikula seminalis, yang lainnya  mungkin berhubungan dengan saluran ejakulasi.


 Sistem Reproduksi Betina


Gambar 4. Sistem Reproduksi Betina: 
A. ovaries; B. ovarioles; C. lateral oviducts; 
D. common oviduct; E. bursa copulatrix; 
F. accessory glands; G. spermatheca; 
H. spermathecal gland (Sumber: Meyer, 2009)
Sistem reproduksi betina terdiri atas sepasang ovarium (Gambar 2A dan 4A). Setiap ovarium terbagi menjadi unit-unit fungsional (ovariol, Gambar 4B) di mana telur dihasilkan. Satu ovarium dapat mengandung puluhan ovariol, umumnya sejajar satu sama lain. Telur matang meninggalkan ovarium melalui saluran telur lateral (lateral oviducts, Gambar 4C). Pada sekitar pertengahan tubuh, saluran telur lateral ini bergabung untuk membentuk common oviduct (Gambar 4D) yang membuka ke ruang alat kelamin yang disebut bursa copulatrix (Gambar 2C dan 4E). 

Kelenjar aksesori betina (accessory glands, Gambar 4F) memasok pelumas untuk sistem reproduksi dan mengeluarkan kulit telur kaya protein (chorion) yang mengelilingi seluruh telur. Kelenjar ini biasanya dihubungkan dengan saluran kecil ke saluran telur umum atau bursa copulatrix.

Selama kopulasi, jantan menyimpan spermatophore di bursa copulatrix. Kontraksi peristaltik menyebabkan spermatophore masuk ke dalam spermatheca (Gambar 2B dan 4G) betina, sebuah ruang kantong penyimpanan sperma. 
Kelenjar spermathecal (spermathecal gland, Gambar 4H) memproduksi enzim (untuk mencerna lapisan protein spermatophore) dan nutrisi (untuk mempertahankan sperma sementara berada di penyimpanan). Sperma dapat hidup di spermatheca selama berminggu-minggu, bulan, atau bahkan bertahun-tahun.


Referensi:
  • Achterberg, K., et al., 1991. The Insects of Australia. Division of Entomology CSIRO Australia. Melbourne University Press.
  • Gullan, D. J. and Cranston, P. S. 2005. The Insects: An Outline of Entomology Blackwell Publishing Ltd, UK.
  • Klowden MJ. 2007. Physiological Systems in Insects. Second Edition. Academic Press, Elsevier. Burlington, 01803, USA.
  • McGavin, G. C. 2001. Essential Entomology; An order by order introduction. Oxford University Press, New York.
  • Meyer, John R. 2009. General Entomology - Reproductive System. Department of Entomology NC State University. Last Updated:   8 April 2009. http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425/library/tutorials/internal_anatomy/reproductive.html. Diakses pada 02 February 2011.
  • Triplehorn, C. A. and Johnson, N. F. 2005. Borror and DeLong’s Introduction to the Study of Insects (7th Ed). Brooks/Thomson Cole USA.


Yos F. da Lopes. Copyright © 2011.  Last updated 23 Maret 2011.
Jurusan MPLK – Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jalan Adisucipto Penfui P.O. Box 1152 Kupang 85001 Email: brench_copa76@yahoo.com