10 September 2012

MONOCROTOPHOS (MONOKROTOFOS): “APAKAH MASIH LAYAK DIGUNAKAN?”

Monocrotophos adalah insektisida dan akarisida organofosfat yang bekerja secara sistemik dan kontak serta sangat beracun terhadap burung dan digunakan sebagai racun burung (Smith et al., 1993 dalam EXTOXNET, 1995) dan juga sangat beracun terhadap mamalia. Penggunaan pestisida ini telah dihentikan di Amerika Serikat tetapi secara internasional masih digunakan, terutama di Amerika Latin (EXTOXNET, 1995).
Di pertanian, monocrotophos digunakan untuk mengendalikan berbagai serangga hama pencucuk-pengisap, penggigit-pengunyah, dan penggerek cabang atau batang serta tungau laba-laba (spider mite)pada tanaman kapas, tebu, kacang tanah, tanaman hias, dan tembakau (EXTOXNET, 1995).
Pestisida ini diklasifikasikan oleh EPA (US Environmental Protection Agency) sebagai insektisida dengan toksisitas kelas I - sangat beracun. Semua produk monocrotophos berlabel "bahaya" (Farm Chemicals Handbook, 1994 dalam EXTOXNET, 1995) dan tersedia dalam bentuk soluble concentrate atau ultra-low volume(EXTOXNET, 1995).

  1. BAGIAN 1
  2. BAGIAN 2
  3. BAGIAN 3
  4. BAGIAN 4
  5. BAGIAN 5
  6. BAGIAN 6

MONOCROTOPHOS - BAGIAN 6


I. ABSORPSI, DISTRIBUSI, EKSKRESI DAN METABOLISME PADA MAMALIA

Monocrotophos adalah secara sistemik diserap jika tertelan, terhirup atau kontak dengan kulit. Absorpsi dermal monocrotophos berlabel-C pada manusia sekitar 22% dari dosis tunggal aplikasi (dalam aseton) dalam 24 jam. Absorpsi oral pada hewan percobaan efektif 100% dari dosis yang diuji.

Monocrotophos dengan cepat diserap dan diekskresikan, terutama dalam urin, dalam waktu 24 jam setelah pemberian dosis oral pada hewan pengerat. Sangat kecil residu yang terakumulasi dalam jaringan. Monocrotophos yang tidak mengalami perubahan ditemukan dalam urine tikus lebih dari 30% dosis uji. Setelah pemberian oral monocrotophos pada tikus dan kambing, senyawa induk, N-methyl acetoacetamide dan 3-hydroxy-N-methyl butyramide terdeteksi dalam urin.
Ada variasi dalam tingkat penyerapan, metabolisme dan eliminasi tapi secara keseluruhan jalur metabolisme monocrotophos tampaknya serupa antara spesies. Jalur metabolik pada mamalia dipastikan berada terutama dalam rute detoksifikasi yang melibatkan pembongkaran ester monocrotophos (Rotterdam Convention, 2005).

J. MANAJEMEN RESISTENSI

Umumnya monocrotophos dianggap sebagai bahan kimia yang dapat digunakan dalam rotasi dengan kelompok bahan kimia lainnya dalam program untuk membatasi pengembangan resistansi bahan kimia terutama untuk mengendalikan hama pada tembakau yang digunakan dalam rotasi dengan karbamat dan piretroid sintetik (National Registration Authority for Agricultural and Veterinary Chemicals, Australia, 2000). Industri Hortikultura Queensland memiliki izin “off-label “ untuk menggunakan monocrotophos dalam program rotasi untuk mengurangi pengembangan resistensi bahan kimia pada western flower thrips. Monocrotophos memiliki aktivitas spektrum yang luas sehingga dapat digunakan terhadap berbagai macam hama. 

“APAKAH MONOCROTOPHOS MASIH LAYAK DIGUNAKAN?”

Untuk menilai apakah monocrotophos masih layak digunakan atau tidak, akan dilihat melalui dampak yang ditimbulkannya, baik terhadap organisme sasaran dan organisme bukan sasaran, lingkungan dan ekosistem serta dampaknya terhadap kesehatan manusia selain residu dan toksisitasnya, diuraikan berikut ini.

DASAR PEMIKIRAN: 

  • Monocrotophos memiliki spectrum yang sangat luas dengan daya racunnya yang tinggi sehingga di samping membunuh organisme sasaran, monokrotophos juga ikut membunuh organisme bukan sasaran atau organisme-organisme bermanfaat, seperti musuh alami hama dan serangga-serangga penyerbuk.  
  • Selain itu, monocrotofos juga diketahui memiliki fitoksisitas pada beberapa varietas sorgum dan apel ((National Registration Authority for Agricultural and Veterinary Chemicals, Australia, 2000).
  • Monocrotophos cukup beracun bagi ikan jika tercemar dalam air. Monocrotopos juga diketahui menyebabkan kerusakan Crustacea jika terpapar dalam jangka waktu yang lama, selain membunuh burung akibat memakan serangga mati akibat monocrotophos (telah diuraikan pada bagian H.2). Dengan demikian, penggunaan monocrotophos secara tidak langsung akan berpengaruh pada langkahnya satwa liar dan rusaknya ekosistem air.
  • Dilihat dari dampaknya terhadap kesehatan manusia. Monocrotophos memiliki daya racun yang tinggi sehingga dapat menimbulkan keracunan pada manusia (bagian E.2.2 dan G.2), dan efek kronis (bagian E.3.2). Dengan demikian, penggunaan monocrotophos dapat dikatakan belum aman bagi kesehatan manusia.
  • Selain itu, penggunaan monocrotophos diketahui telah menimbulkan resistensi beberapa jenis hama dan beberapa jenis hama telah mengembangkan resistensi terhadapnya (seperti yang dikemukakan pada bagian H.1.1 dalam tulisan ini). Akibatnya, penggunaan monocrotophos selanjutnya dengan dosis/konsentrasi, cara aplikasi, dan formulasi yang sama tidak akan efektif lagi mengendalikan populasi hama melainkan akan memungkinkan terjadinya ledakan hama. Hal ini akan menambah biaya produksi untuk operasi pengendalian secara kimiawi yang belum tentu memberikan keuntungan. Seperti sebelumnya.
  • Ditinjau dari dampaknya terhadap lingkungan. Monocrotophos memiliki persistensi yang rendah dalam tanah karena bersifat mobile dalam tanah sehingga cepat terbiodegradasi (seperti yang diuraikan pada bagian H.1.1), tetapi tidak ada yang menjamin bahwa air tanah akan aman dari pencemaran oleh monocrotophos. Dengan demikian, monokrotophos bukan tidak mungkin suatu saat akan mencemari lingkungan tanah atau air tanah jika digunakan secara terus menerus tanpa pertimbangan ekologis yang bijaksana.
  • Dilihat aspek residu pada makanan/bahan makanan (bagian G.1). Monocrotophos tidak terdeteksi sebagai residu dalam makanan atau bahan makanan. Walaupun terdapat temuan residu pada beberapa makanan/bahan makanan, kadarnya rendah. Dengan demikian dari aspek residunya untuk saat ini masih aman bagi kesehatan manusia. 

PENILAIAN:

  • Berdasarkan poin 1 – 6, monocrotophos tampaknya tidak sesuai dengan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT), dimana pengggunaan pestisida hendaknya memberikan produksi pertanian mantap tinggi sehingga penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, mampu menjaga populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras yang secara ekonomi tidak merugikan dan  mengurangi resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan.
  • Jika dilihat dari poin 6 & 7, monocrotophos memiliki memiliki persistensi yang pendek dan residu yang rendah. Dengan demikian, monocrotophos tampaknya masih memiliki peranan penting saat ini, terutama dalam kaitannya dengan strategi pengelolaan resistensi, pengendalian belalang hama dan pengendalian beberapa hama tertentu pada tembakau, kentang, kapas, hortikultura, tanaman hias, dan tanaman sereal.

KESIMPULAN:

Monocrotophos masih layak digunakan dan penggunaannya harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Ini dapat dicapai melalui melalui pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai sifat fisiokimia monocrotophos itu sendiri, toksisitasnya, dan dampaknya terhadap lingkungan. Selain itu, pengaturan pengawasan pestisida untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, kelestarian alam, dan lingkungan hidup, menjamin mutu dan efektivitas pestisida serta memberikan perlindungan kepada produsen, pengedar dan pengguna pestisida, seperti yang yang tertuang dalam  KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 42/Permentan/SR.140/5/2007 TENTANG PENGAWASAN PESTISIDA.  
Dalam “Review Monocrotophos” oleh National Registration Authority for Agricultural and Veterinary Chemicals di Canberra-Australia pada Januari 2000, dinyatakan bahwa penggunaan monocrotophos mengalami penurunan yang terkait beberapa faktor, diantaranya kekhawatiran tentang keselamatan operator dan toksik terhadap unggas dan spesies non-target, ketidaksesuaian dengan penggunaannya dalam strategi pengendalian hama terpadu, periode withholding yang lama pada beberapa tanaman, ketersediaan alternatif lain yang efektif, kurang berbahaya dan lebih hemat biaya, fitotoksisitas pada beberapa varietas sorgum. 

REFERENSI:

Berrada S., T. X. Nguyen, D. Merzoug, D. Fournier. 1995. Selection for monocrotophos resistance in pear psylla, Cacopsylla pyri (L.) (Hom., Psyllidae). Journal of Applied Entomology Volume 119, Issue 1-5, pages 507–510, January/December 1995. DOI: 10,1111/j.1439-0418.1995.tb01326.x. Article first published online: 26 AUG 2009. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10,1111/j.1439-0418.1995.tb01326.x/abstract. Diakses pada 25 Mei 2011.
EXTOXNET (Extension Toksikologi Network). 1995. Monocrotophos – Pesticide Information Profile. A Pesticide Information Project of Cooperative Extension Offices of Cornell University, Oregon State University, the University of Idaho, and the University of California at Davis and the Institute for Environmental Toxicology, Michigan State University. Major support and funding was provided by the USDA/Extension Service/National Agricultural Pesticide Impact Assessment Program. http://extoxnet.orst.edu/pips/monocrot.htm. Diakses pada 25 Mei 2011.
FAO. 2011. Monocrotophos. Decision Guidance. Corporate Document Repository, produced by: Agriculture and Consumer Protection. http://www.fao.org/docrep/W5715E/w5715e04.htm. Diakses pada 25 Mei 2011.
Heath Council of the Netherlands. 2003. Monocrotophos, Health-based Reassesment of Administratif Occupational Exposure Limits. No. 2000/150sh/073, The Haque, 22 September 2003. Commite on Updating of Occupational Exposure Limits, a commite of the Health Council of the Netherlands. http://www.gezondheidsraad.nl/sites/default/files/00@15OSH073.pdfDiakses pada 25 Mei 2011.
Kegley, S.E., Hill, B.R., Orme S., Choi A.H. 2010. Monocrotophos - Identification, toxicity, use, water pollution potential, ecological toxicity and regulatory information - PAN Pesticide Database. Pesticide Action Network, North America (San Francisco, CA, 2010). http://www.pesticideinfo.org/Detail_Chemical.jsp?Rec_Id=PC33331. Diakses pada 25 Mei 2011.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 42/Permentan/SR.140/5/2007 Tentang Pengawasan Pestisida. http://www.promedia.co.id/ppvtpp/files/27Permentan-42-07.pdf. Diakses pada 30 Mei 2011
Lampiran Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor:    881 / MENKES / SKB/VIII/1996-711/Kpts/TP.270/8/1996 Tentang Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian. http://www.deptan.go.id/bdd/admin/km_terkait/KepmenTerkait-711-96.pdf. Diakses pada 30 Mei 2011.
Muralimohan K; Sannaveerappanavar V.T; Srinivasa Y.B. 2007. Resistance to monocrotophos in the coconut black-headed caterpillar: Outlining development of resistance in asynchronous populations. Pest Management in Horticultural Ecosystems Year: 2007, Volume: 13, Issue: 2. http://www.indianjournals.com/ijor.aspx?target=ijor:pmhe&volume=13&issue=1&article=001. Diakses pada 25 Mei 2011.
National Registration Authority for Agricultural and Veterinary Chemicals Australia, 2000. The NRA Review of Monocrotophos. Series 00.1 ISSN No.  1443 – 2528. Canberra, Australia. http://www.apvma.gov.au/products/review/docs/monocrotophos_summary.pdf. Diakses pada 25 Mei 2011. 
PAN-UK. 1997. Monocrotophos. First appeared in Pesticides News No.38, December 1997, p20-21. http://www.pan-uk.org/pestnews/Actives/monocrot.htm. Diakses pada 25 Mei 2011.
Rotterdam Convention. 2005. Monocrotophos. Decision Guidance Document - Operation of the Prior Informed Consent (PIC) procedure for banned or severely restricted chemicals in international trade. Secretariat for the Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade. http://www.pic.int/DGDs/DGD_Monocrotophos_EN.pdf. Diakses pada 25 Mei 2011.
World Health Organization (WHO), Regional Office for South-East Asia. 2009. Health implications from monocrotophos use: a review of the evidence in India. ISBN 978-92-9022-345-0 (NLM classification: WA 240). World Health Organization, Regional Office for South-East Asia, Indraprastha Estate, Mahatma Gandhi Marg, New Delhi 110 002, India. http://www.searo.who.int/LinkFiles/Publications_and_Documents_SEA-EH-559_.pdf. Diakses pada 25 Mei 2011.

MONOCROTOPHOS - BAGIAN 5


G. Eksposur Monocrotophos

G.1. Makanan
 
Pada studi total diet, monocrotophos biasanya tidak terdeteksi sebagai residu dalam makanan. Studi terhadap makanan impor tahun 1996 di inggris, ditemukan residu monocrotophos (level rendah 0,03 mg/kg) dalam 1 dari 8 sampel kismis kering yang diimpor dari Yunani. Studi pada sumber-sumber industri makanan Inggris, ditemukan residu monocrotophos pada dwarf beans 0,07 mg/kg.Batas maksimum residu telah diatur dalam beberapa produk sekitar 0,02-1 mg/kg, dan ADI 0,0006 mg/kg bb. Monocrotophos dan beberapa metabolitnya telah diidentifikasi pada otot, susu, dan hati sapi serta susu kambing. Di beberapa negara, interval pra-panen ditetapkan 7-15 hari pada sayuran dan kentang, jagung dan jeruk dan 28-30 hari untuk tanaman lainnya.

 
G.2. Berhubungan dengan Pekerjaan
 
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh US-EPA tentang penilaian risiko paparan akut pada pekerja/buruh di Indonesia, nilai-MOE (Moel = NOAEL/tingkat pemaparan diantisipasi) 5 diestimasi sebagai monocrotophos. EPA umumnya menganggap MOE lebih rendah dari 100 memberikan risiko yang tidak akseptebel. Penelitian yang dilakukan di Filipina menunjukkan bahwa dalam proses operasi penyemprotan normal, petani tereksposur melalui kontaminasi dari pakaian mereka dan penyerapan melalui kulit. Studi epidemiologi yang dilakukan 1972-1984 di sebuah pedesaan di Luzon Tengah (Filipina) menunjukkan adanya peningkatan kematian 27% hanya dalam batas kelompok umur dan jenis kelamin tertentu (bekerja menanam padi) yang ter-eksposur. Tahun-tahun tersebut adalah masa dimana penggunaan pestisida tinggi. Di antara 4 pestisida yang paling sering digunakan adalah monocrotophos.

G.3. Lingkungan

Populasi atau penduduk umumnya tidak terkena monocrotophos melalui udara atau air. Terdapat beberapa laporan adanya keracunan akibat penggunaan monocrotophos yang berkaitan dengan pekerjaan atau percobaan bunuh diri.
 
G.4. Keracunan Asidental

Di Parana (Brasil) pestisida menimbulkan kasus lebih dari 10 insiden yang dianalisis pada tahun 1990; 107 dari 412 insiden yang dilaporkan, disebabkan oleh monocrotophos.

G.5. Langkah-langkah untuk Mengurangi Eksposur

Personal:

WHO merekomendasikan bahwa untuk kesehatan dan kesejahteraan pekerja dan masyarakat umum, penanganan dan aplikasi monocrotophos harus dipercayakan hanya kepada aplikator yang kompeten, terawasi dan terlatih, yang harus mengikuti langkah-langkah keamanan yang memadai dan menggunakan bahan kimia sesuai dengan praktek aplikasi yang baik. Pekerja yang tereksposur secara teratur harus dipantau dan dievaluasi kesehatannya. Di Jerman, monocrotophos tidak boleh ditangani oleh remaja dan wanita hamil dan menyusui. Di Amerika Serikat, monocrotophos merupakan jenis pestisida yang dilarang penggunaannya (Restricted Use Pesticide) sebelum ditarik dari peredarannya, yang hanya dapat digunakan oeh aplikator bersertifikat.

Proteksi:

Menggunakan pakaian pelindung seperti yang ada dalam “Pedoman FAO untuk Perlindungan Pribadi (FAO Guidelines for Personal Protection)” saat bekerja dengan pestisida terutama daerah beriklim tropis. Menggunakan respirator saat bekerja dengan mixer dan menyemprot tanaman tinggi.Menghindari penggunaan flagger, jika digunakan, harus mengenakan pakaian pelindung lengkap termasuk respirator. Semua peralatan dan pakaian pelindung harus dicuci dengan bersih setelah digunakan; pakaian pelindung harus dicuci secara terpisah dari pakaian keluarga. Pekerja yang tidak terproteksi harus dijauhkan dari daerah perawatan selama 48 jam.

Aplikasi:

Pembuatan, formulasi, penggunaan di pertanian dan pembuangan monocrotophos seharusnya ditangani dengan hati-hati untuk mengurangi pencemaran lingkungan.Untuk memperkecil risiko bagi semua individu, direkomendasikan untuk menggunakan interval 48 jam sebelum penyemprotan kembali ke area lainnya. Di beberapa Negara, ditetapkan interval pra-panen, biasanya 7-15 hari untuk sayuran dan kentang, jagung dan jeruk, dan 28-30 hari untuk tanaman lainnya. Mengingat tingginya monocrotophos, pestisida ini tidak seharusnya digunakan melalui praktek “hand-applied ULV spraying” (penyemprotan tangan dengan ULV).
 
H. DAMPAK PENGGUNAAN MONOCROTOPHOS

H.1. Dampak pada Organisme Sasaran dan Organisme Bukan Sasaran
H.1.1. Dampak pada OPT Sasaran

Terbunuhnya OPT Sasaran
Monocrotophos umumnya efektif dalam mengendalikan OPT sasaran.

Resistensi

Hampir semua hama polifagus di dunia dilaporkan telah mengembangkan resistansi terhadap monocrotophos. Pada 1980-an, Tetranychus cinnabarinus (Acari: Tetranychidae) mengembangkan resistansi terhadap monocrotophos dan pestisida organofosfat lainnya seperti Methyl-parathion, phosphamidon dan Dimetoat; resistensi terhadap Parathion, misalnya, meningkat 466,8 kali lipat (Wu et al, 1990 dalam WHO, 2009). Resistensi terhadap monocrotophos tampaknya telah berkembang pada two-spotted mites di Queensland, SA (Southern Australia) dan NSW (New South Wales), juga pada pada beberapa populasi kutu daun dan tungau (National Registration Authority for Agricultural and Veterinary Chemicals, Australia, 2000). Resistensi white fly telah menjadi semacam wabah pada tanaman kapas. Catatan sepanjang waktu menunjukkan bahwa resistensi kumbang kentang Colorado terhadap monocrotophos di Long Island, AS, tampak lebih cepat daripada hampir semua pestisida lainnya, dalam waktu satu tahun introduksi. Cotton bollworms juga dilaporkan telah mengembangkan resistensi terhadap berbagai tingkat dosis anjuran di berbagai benua (WHO, 2009). Kasus resistensi menokrotofos juga telah diamati pada psylla pir, Cacopsylla pyri. Pada studi ini, resistensi terjadi hanya ketika ada tekanan seleksi insektisida terus-menerus. Resistensi tampak stabil setelah 30 generasi seleksi dan stabil pada tingkat 140 kali lipat (Berrada et al, 1995). Muralimohan, et al (2007) melaporkan bahwa coconut black-headed caterpillar, Opisina arenosella, berpotensi mengembangkan resistensi terhadap monocrotophos, dimana nilai LC50dari populasi yang terus menerus terpapar monocrotophos 134 kali lebih besar dari populasi yang rentan (tidak pernah terpapar monocrotophos).

H.1.2. Dampak pada Organisme Non Target

Terbunuhnya serangga-serangga bermanfaat, seperti musuh alami dan serangga penyerbuk; burung dan hewan air (selengkapnya di bagian H.3).

Fitotoksisitas

Monocrotophos dapat menyebabkan diskolorasi (perubahan warna daun) pada banyak varietas sorgum dan rusaknya beberapa varietas apel di Australia (National Registration Authority for Agricultural and Veterinary Chemicals, Australia, 2000). Monocrotophos juga menyebabkan luka ringan pada beberapa varietas apel, pir, peach, cherry, dan sorgum (Gallo & Lawryk, 1991 dalam EXTOXNET, 1995).
Penanganan monocrotophos yang kurang hati-hati dapat menimbulkan keracunan pada manusia.

H.2. Dampak pada Lingkungan

H.2.1. Persistensi
Monocrotophos memiliki persistensi lingkungan yang rendah.

Degradasi pada tanah dan air tanah

Pestisida ini tidak terakumulasi dalam tanah karena dapat dibiodegradasi. Pada tanah yang terkena sinar matahari secara alami, waktu paruhnya kurang dari 7 hari. Pada tempat gelap, waktu paruhnya sekitar 30 hari. Pada PH 9 dan suhu suhu 25˚C, waktu paruhnya 14-21 hari. Meskipin bersifat mobile di tanah dan terdegradasi secara cepat, monocrotophos memiliki potensi untuk mencemari air tanah.

Belum ada informasi degradasi pada Air Permukaan

Degradasi pada Vegetasi

Monocrotophos dapat menyebabkan luka ringan pada beberapa varietas apel, pir, peach, cherry, dan sorgum. Pada dedaunan tanaman, monocrotophos memiliki waktu paruh 1,3-3,4 hari tanaman.

H.2.2. Biokonsentrasi

Monocrotophos dan metabolitnya tidak diharapkan untuk bioakumulasi.

H.3. Dampak pada Ekologi (Eksotosisitas)

H.3.1. Hewan Akuatik

Monocrotophos cukup beracun bagi ikan
LC50 (48 jam) 7 mg/l untuk rainbow trout dan 23 mg/l untuk bluegill sunfish. Monocrotophos menyebabkan kerusakan reproduksi pada Crustacea yang terpapar dalam jangka waktu yang lama.

H.3.2. Unggas

LD50 akut oral berkisar 0,9-6,7 mg/kg bb. Monocrotophos sangat beracun bagi unggas dan digunakan sebagai racun unggas. Monocrotophos juga dapat membunuh burung yang memakan serangga yang mati keracunan monocrotophos. LD50 adalah 0,76 mg/kg untuk puyuh California; 0,94 mg/kg untuk puyuh bobwhite; 1,58 mg/kg untuk angsa Kanada; 3,3 mg/kg untuk jalak Eropa dan 4,76 mg/kg untuk itik mallard. Karena penggunaan monocrotophos, diperkirakan 15.000 sampai 20,000 ekor burung mati di Argentina pada tahun 1995.

H.3.4. Lebah
Berbahaya untuk lebah (LD5028-33 mg/lebah).

Sumber:
FAO (2011); American Bird Conservancy (2010); Kegley et al (2010); Rotterdam Convention (2005); Heath Council of the Netherlands (2003); National Registration Authority for Agricultural and Veterinary Chemicals, Australia (2000); PAN-UK (1997); EXTOXNET (1995).