10 September 2012

MONOCROTOPHOS - BAGIAN 2



E. TOKSISITAS MONOCROTOPHOS

E.1. Efek Umum
E.1.1. Mode of action
Monocrotophos mempengaruhi sistem saraf dengan menghambat acetylcholinesterase, enzim penting untuk transmisi impuls saraf normal.
E.1.2. Penyerapan
Monocrotophos dapat diserap melalui pencernaan (ingestion), pernafasan (inhalation), dan kontak kulit.
E.1.3. Metabolisme
Pada mamalia, produk konversi utama monocrotophos adalah dimethylphosphate, monocrotophos O-desmethyl dan monocrotophos N-desmethyl. Monocrotophos N-desmethyl lebih beracun.
Monocrotophos dimetabolisme dan diekskresikan dengan cepat dan tidak tampak terakumulasi di dalam tubuh.
Pada mamalia, 60% diekskresikan dalam waktu 24 jam, terutama melalui urin.
E.2. Efek terhadap Kesehatan Manusia
E.2.1. Toksisitas Akut
Lihat bagian E.3.1.

Gejala Keracunan
Pestisida kelompok organofosfat adalah inhibitor-cholinesterase. Kelompok pestisida ini sangat beracun dalam semua jalur eksposur.
Jika terhirup, efek pertama adalah pada pernafasan termasuk hidung berdarah atau berair, batuk, sesak dada, sulit bernafas dan mendesah (terengah-engah) akibat penyempitan atau kelebihan cairan dalam tabung bronkial.
Kontak melalui kulit dapat menimbulkan keringat lokal dan kontraksi otot secara paksa. Kontak mata akan menimbulkan rasa sakit, pendarahan, keluar air mata, penyempitan pupil dan penglihatan kabur.
Efek sistemik lainnya dimulai dalam beberapa menit atau 12 jam setelah eksposur. Efek ini meliputi pucat, mual, muntah, diare, kram perut, sakit kepala, pusing, sakit mata, penglihatan kabur, penyempitan atau pelebaran pupil, mengeluarkan air mata, mulut berbusa, dan kebingungan.
Keracunan parah akan mempengaruhi sistem saraf pusat, bicara tidak teratur atau tidak terkoordinasi, hilangnya refleks, kelemahan, kelelahan, kontraksi otot secara paksa, berkedut, lidah atau kelopak mata bergetar, dan akhirnya menimbulkan kelumpuhan ekstremitas tubuh dan otot-otot pernafasan.
Dalam kasus yang berat memungkinkan buang air besar buang air atau kecil secara paksa, psikosis, detak jantung yang tidak teratur, pingsan, kejang.
Menelan 120 mg monocrotophos dapat berakibat fatal.
E.2.2. Eksposur jangka panjang dan jangka pendek
Paparan harian secara berulang dengan level tinggi dapat menyebabkan keracunan secara bertahap.
Penelitian terhadap pekerja yang terpapar monocrotophos di negara-negara beriklim panas yang mana para pekerjanya tidak mengenakan pakaian pelindung saat bekerja, ditemukan bahwa penyerapan 20 mg monocrotophos menyebabkan penghambatan Ache (acetylcholinesterase) plasma.
Beberapa organofosfat dapat menyebabkan penundaan gejala tertunda mulai 1 sampai 4 minggu setelah eksposur akut. Dalam kasus tersebut, dapat muncul gejala mati rasa, kesemutan, kelemahan dan kram pada tungkai bawah dan berkembang menuju hilangnya koordinasi dan kelumpuhan. Perkembangan dapat terjadi selama bulanan atau tahunan, tetapi beberapa gangguan residual akan tetap ada.
E.3. Studi Toksisitas





E.3.1. Tokisitas Akut

·         Oral
LD50 (a.i; mg/kg bb): 14 - 20 pada spesies uji yang berbeda.
LD50 adalah 17-18 mg/kg bb untuk tikus jantan dan 20 mg/kg bb untuk tikus betina.
·         Dermal
LD50 (a.i.; mg/kg bw): 112 - 250 pada spesies uji berbeda.
LD50 untuk tikus jantan 126 mg/kg, 112 mg/kg untuk tikus betina, dan 354 mg/kg untuk kelinci.
·         Inhalasi
LC50 (a.i.; mg/m3 eksposur-udara dalam 4 jam) 80 atau 0,8 mg/l udara.
·         Iritasi
Monocrotophos teknis tidak menimbulkan iritasi pada kulit atau mata. Iritasi yang terjadi mungkin karena bahan pelarut organik yang terdapat dalam formulasi.
E.3.2. Efek Kronis
Monocrotophos terbukti dapat menyebabkan neuropati tertunda. Sebuah studi yang dilakukan di Mesir pada petani pengguna organofosfat (termasuk monocrotophos) menemukan bahwa 50% dari pekerja menunjukkan tanda-tanda efek neurologis, seperti hilangnya sensori dan turunnya atau hilangnya refleks pada pergelangan kaki atau lutut.
E.3.3. Eksposur Jangka Pendek
Dosis 10 dan 100 mg/kg bb (dermal selama 4 minggu) menyebabkan tanda-tanda keracunan dan hambatan yang signifikan pada kegiatan kolinesterase.
Dosis NOAEL (no observed adverse effect level, level yang tidak menimbulkan efek samping) adalah 1 mg/kg bb.
Pada tikus, perilaku toleransi terhadap monocrotophos diamati dalam waktu 16 hari dengan dosis oral berulang sampai 6 mg/kg bb per hari.
E.3.4. Acute Reference Dose (ARfD)
Tidak ada penghambatan aktivitas kolinesterase eritrosit atau tanda-tanda toksisitas lainnya terlihat pada sukarelawan yang dikenai dosis tunggal monocrotophos melalui oral sampai dengan dosis 0,0059 mg/kg bb selama 28-hari.
Berdasarkan NOAEL (0,0059 mg/kg bb per hari) dan dengan faktor keamanan 10 kali lipat, dosis referensi akut (ARfD) untuk monocrotophos di Australia ditetapkan pada 0,0006 mg/kg bb.
E.3.5. Acceptable Daily Intake (ADI)
Aktivitas kolinesterase plasma secara signifikan menurun pada dosis yang lebih tinggi tetapi tidak pada dosis rendah (0,0036 mg/kg bb/hari).
Berdasarkan NOAEL (0,0036 mg/kg bb per hari) dan dengan faktor keamanan 10 kali lipat, asupan harian yang dapat diterima (ADI) untuk monocrotophos di Australia ditetapkan 0,0003 mg/kg bb per hari.
E.3.6. Eksposur Jangka Panjang
Dalam studi tahun dua pada tikus dengan konsentrasi diet 0,01 -10 ppm NOAEL setara dengan 0,005 mg/kg bb per hari.
E.3.7. Efek pada reproduksi dan Teratogenik
Tikus yang diberikan monocrotophos 2 mg/kg per hari menghasilkan janin berukuran lebih pendek dari rata-rata panjang dan berat normalnya. Dosis ini jauh lebih tinggi dari dosis yang diharapkan umtuk aplikasi normalnya.
Studi teratogenisitas pada kelinci menunjukkan bahwa monocrotophos tidak menimbulkan efek teratogenik pada dosis sampai 6 mg/kg bb/hari.
E.3.8. Karsinogenik
Dosis monocrotophos 0,45 mg/kg per hari (dosis tertinggi yang diuji), tidak menimbulkan efek karsinogenik pada tikus.
Belum ditemukan adanya luka karsinogenik signifikan yang teramati pada tikus yang terkena monocrotophos aerosol dengan konsentrasi 97-308 mg/m3 selama satu jam.
E.3.9. Mutagenik
Studi in vitro menunjukkan adanya efek mutagenik lemah. Pada studi in vivo kebanyakan hasilnya negatif.
Sumber: FAO (2011); American Bird Conservancy (2010); Kegley et al (2010); Rotterdam Convention (2005); Heath Council of the Netherlands (2003); PAN-UK (1997); EXTOXNET (1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar