29 Januari 2011

INTERAKSI ANTARA MANGSA DAN PEMANGSA: INTERAKSI ANTARA KELINCI DAN RUBAH MERAH (INTERACTIONS BETWEEN RABBIT AND RED FOX)


Yos F. da Lopes

Jurusan Manajemen Pertanian Lahan Kering (MPLK) Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Jl. Adisucipto Penfui P. O. Box. 1152 Kupang 85011 - Nusa Tenggara Timur

Pemahaman tentang ekologi tidak lepas dari pemahaman ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan faktor biotik, serta interaksi atau hubungan yang terjadi diantara komponen-komponen penyusun tersebut. Interaksi antara kelinci dan rubah merupakan interaksi atau hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator) yang mana hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa (Holsinger, 2009; McGinley, 2009).

 

Perilaku Kelinci dalam Mendeteksi Predatornya


Dalam mendeteksi adanya predator, kelinci menggunakan inderanya, terutama indera penciuman, pendengaran, dan penglihatan (Crowell-Davis, 2007; Krempels, 2008; Metroulas, 2010). Kelinci akan duduk diam dengan telinga ditegakkan (American Museum of Natural History, 1994; Krempels, 2008; Crowell-Davis, 2007; Metroulas, 2010) dan digerakkan maju mundur, serta mencoba untuk menentukan jenis bahaya melalui penangkapan suara (Crowell-Davis, 2007; Metroulas, 2010) dengan hidung tidak berkedut (Krempels, 2008). Kelinci arctic (arctic rabbit) akan melompat naik turun pada kaki belakangnya untuk meninjau titik horizon datangnya predator (Nunavut, 2010). Ketika bahaya terdeteksi, kelinci mencoba untuk menyelinap pergi dengan ekor mengarah ke bawah (Williams dkk, 1995) atau mendekam diam, tidak berdaya di tempatnya sampai bahaya berlalu (Williams dkk, 1995; Crowell-Davis, 2007; Nunavet 2010). Kelinci tertentu akan menghentakkan kaki belakangnya pada tanah (American Museum of Natural History, 1994; Williams dkk, 1995; Crowell-Davis, 2007; Krempels, 2008; Wildlife.com, 2009; Department of Environmental Protection, 2010) untuk mengirimkan sinyal getaran melalui tanah (Wildlife.com, 2009) sebagai peringatan akan adanya bahaya kepada kelinci lainnya.

Perilaku Rubah dalam Mendeteksi Mangsanya


Seperti halnya kelinci, dalam mendeteksi mangsanya, rubah menggunakan bantuan indra penciuman, indera penglihatan, dan indera pendengaran yang saling bekerja sama (Matheson, 1997; Hatfield, 2002; Hanrahan, 2007; Baldwin, 2010). Rubah akan meninggikan (mengangkat) kepalanya dan menegakkan kedua telinganya (Matheson, 1997; Hatfield, 2002; Nature Works, 2010). Ketika mangsanya terdeteksi, rubah akan mencoba untuk menentukan lokasi keberadaan mangsanya melalui bau dan memiringkan kepalanya untuk menentukan sumber suara (Nature Works, 2010). Setelah lokasi ditemukan, ia akan melakukan pengintaian (stealth). Pengintaian merupakan perilaku yang paling utama dilakukan untuk berburu kelinci dan mamalia kecil lainnya yang menghindari penangkapan terutama melalui pengejaran atau perburuan (Matheson, 1997). Pengintaian dilakukan dengan bergerak sangat pelan, melangkah dengan hati-hati untuk menghindari suara yang mungkin terdeteksi oleh mangsanya (Matheson, 1997; Hatfield, 2002; Nature Works, 2010).

Indera yang berperan dalam Interaksi antara Kelinci dan Rubah Merah


Indera pada Kelinci ― Sebagai binatang buruan, banyak dari perilaku kelinci diatur sekitar peninjauan (scanning) dan penafsiran secara cepat terhadap ancaman potensial sehingga mereka dapat mengambil tindakan untuk menghindari gangguan atau ancaman tersebut (Krempels, 2008). Untuk keperluan itu, kelinci dilengkapi dengan indera-indera yang tajam sehingga dapat membantu kelinci menemukan makanan dan melarikan diri dari pemangsa, yaitu indera pendengaran dan penciuman yang tajam serta indera penglihatan yang baik (Metroulas, 2010; Wissman, 2006).

Kelinci memiliki mata yang besar dan diposisikan pada sisi kepala (Crowell-Davis, 2007; Metroulas, 2010) yang memungkinkan untuk bergerak hampir 360 derajat sehingga kemampuan tersebut dapat membantu untuk mendeteksi predator (Crowell-Davis, 2007; Krempels, 2008; Metroulas, 2010) dan berwaspada untuk melarikan diri (Metroulas, 2010).

Meskipun penglihatan jarak dekat bukan yang terbaik, mata kelinci dirancang untuk melihat objek yang bergerak dari kejauhan. Hal ini memungkinkan mereka untuk melihat predator mendekat pada dari jarak yang jauh dan wilayah yang lebih luas sehingga memberikan mereka cukup waktu untuk melarikan diri (Metroulas, 2010).

Indera penciuman adalah untuk mengidentifikasi sesuatu di sekitarnya. Diketahui, kelinci memiliki 100 juta sel aroma, yang menghasilkan indera penciuman yang tajam, yang digunakan untuk mengidentifikasi kelinci dan hewan lainnya atau bau predator yang mendekat dengan mengarahkan hidungnya naik turun (Metroulas, 2010).

Alat deteksi lain terhadap bahaya adalah indera pendengaran mereka yang tajam. Telinga kelinci yang besar dan bebas bergerak memungkinkan kelinci untuk fokus pada suara yang datang dari arah tertentu. Saat waspada dan penuh perhatian, telinganya akan berdiri dan bergerak-gerak maju mundur, mencoba untuk menentukan bahaya (Crowell-Davis, 2007; Metroulas, 2010). Kelinci dapat mendengar sampai satu mil jauhnya (Crowell-Davis, 2007). Sistem pendengaran digunakan untuk mendeteksi pemangsa, serta untuk membantu kelinci melihat daerah sekitarnya. Bunyi atau suara membantunya mengatasi kemampuan visualnya yang terbatas sehingga memungkinkan kelinci untuk menavigasinya tanpa kesulitan. Gelombang suara yang dipantulkan obyek, memungkinkan kelinci untuk mengenali obyek yang ada di sekelilingnya (Metroulas, 2010).

Seperti halnya kucing, kelinci memiliki kumis yang panjangnya selebar tubuhnya. Ini membantunya untuk mengukur daerah sekelilingnya pada saat gelap. Saraf-saraf sensorik yang terletak dalam folikel pada setiap ujung kumisnya, memberikan kelinci orientasi kesadaran yang tajam dan sensitif terhadap sentuhan (Metroulas, 2010).

Indera pada Rubah ― Indra penciuman, penglihatan, dan pendengaran bekerja sama untuk membantu rubah menemukan mangsanya (Pennsylvania State University, 2002; Denali National Park and Preserve, 2006; Joyner, 2010). Kemampuan indera tersebut memungkinkan mereka untuk menafsirkan lingkungan dan memberikan respon yang sesuai untuk menangkap mangsanya (Baldwin, 2010).

Selama studinya tentang rubah, ahli biologi Finlandia, H. Osterholm menyimpulkan bahwa indera penglihatan merupakan faktor kunci atau utama bagi rubah dalam menemukan makanan selama siang hari, tetapi, pada waktu senja atau gelap rubah akan menggunakan indera pendengaran (Pennsylvania State University, 2002; Baldwin, 2010). Rubah memiliki slit pupil yang vertikal, memungkinkan rubah untuk berburu pada berbagai kondisi cahaya yang berbeda. William Abbot, melalui eksperimennya tahun 1907, mengemukakan bahwa pupil pada rubah yang demikian dapat membantunya untuk fokus yang tajam pada mangsa kecil di atas tanah (Baldwin, 2010).

Pendengaran rubah dialihkan untuk mendengar suara dengan frekuensi rendah. Dalam diagnosisnya terhadap rubah merah, Macdonald dan John Reynolds menemukan bahwa rubah merah dapat mendengar suara pada frekuensi 700 - 3.000 Hz (Baldwin, 2010).

Rubah diketahui memiliki organ vomeronasal (kadang-kadang disebut sebagai 'Jacobson Organ'), yang terdiri dari jaringan yang sangat mirip dengan yang ditemukan dalam lapisan hidung dan langit-langit mulut. Sebagian besar mamalia memiliki organ ini dan itu tampaknya berperan sebagai aroma pendeteksi (terutama feromon). Pengamatan lapangan akhirnya menunjukkan bahwa rubah memiliki indera penciuman yang sangat tajam dan bahwa aroma berperan penting dalam kehidupan mereka sehari-hari (Baldwin, 2010).

Beberapa jenis rambut pada rubah dapat memiliki fungsi tactil (sebagai indera peraba) (Hanrahan, 2007; Baldwin, 2010), yang memungkinkan ia untuk merasakan jalan sekitarnya. Vibrissae atau kumis pada moncong dan sekitar karpal atau sendi pergelangan kaki depan kaki depannyanya berhubungan dengan sel saraf khusus yang sangat sensitif terhadap setiap sentuhan. Vibrissae yang ada pada bantalan kaki memungkinkan rubah untuk menavigasi jalan sekitarnya. Vibrissae pada moncongnya dapat membantu untuk memandu menangkap mangsanya dengan gigitan membunuh. Vibrissae pada karpal dapat membantu rubah selama mengintai (Hanrahan, 2007). Secara keseluruhan, vibrissae menyediakan informasi yang sangat rinci tentang obyek yang disentuhnya (Baldwin, 2010).

Selain indera-indera yang mengesankan, rubah juga memiliki bakat yang baik dalam hal kecepatan. Kaki belakangnya yang relatif lebih panjang memberikan rubah kekuatan pendorong untuk mencapai lompatan yang mengesankan. Dalam sebuah makalah tahun 1968 untuk jurnal “Saugetierkunde Mitteilungen”, mammalogist Jerman, Theodor Haltenorth, dan biologist FAO dari Italia, H. Roth, melaporkan kecepatan tertinggi adalah 48 km/jam (30 mph) dan ketinggian maksimum melompat vertikal adalah 2m (7ft) (Baldwin, 2010).

Interaksi antara Kelinci dan Rubah


Interaksi yang terjadi antara kelinci dan rubah merupakan interaksi antar species yang dikenal dengan istilah “predasi” atau pemangsaan, yaitu interaksi antara spesies dimana satu spesies menggunakan spesies lain sebagai makanan (McGinley dkk, 2009). Dalam melakukan interaksinya, perilaku baik kelinci maupun rubah telah disesuaikan dengan setiap kekuatan dan kelemahan relatif dari masing-masingnya, dengan dukungan indra penciuman, indera penglihatan, dan indera pendengaran yang baik.

Ketika rubah mendekat, sekitar 30 meter (American Museum of Natural History, 1994), kelinci akan berdiri tegak pada kedua kaki belakangnya (American Museum of Natural History, 1994; Williams dkk, 1995; Crowell-Davis, 2007; Krempels, 2008; Wildlife.com, 2009; Department of Environmental Protection, 2010) dan mengangkat telinganya (American Museum of Natural History, 1994; Krempels, 2008; Crowell-Davis, 2007; Metroulas, 2010). Saat rubah semakin mendekat, kelinci tetap berdiri, menghadapi bahaya. Ketika jarak semakin menyempit (± 10m), kelinci akan menurunkan kedua kaki depannya dan duduk jongkok di atas kedua pahanya. Rubah pun akan berhenti dan mengadopsi postur yang sama, seperti yang dilakukan oleh kelinci (ini akan berlangsung sekitar dua menit), sambil memandang satu sama lain. Selanjutnya, rubah akan bangkit berdiri dan meninggalkan tempatnya di sekitar kelinci tersebut berada. Kelinci tetap waspada dan ketika rubah memunculkan kembali kepalanya dari arah lain, secepat mungkin kelinci akan kembali berdiri pada kedua kaki belakangnya. Pada kasus tertentu, ketika rubah semakin mendekat, kelinci akan cepat-cepat meloloskan diri (Williams dkk, 1995), tapi ada yang membungkuk/mendekam diam, tidak berdaya di tempatnya sampai bahaya berlalu (Williams dkk, 1995; Crowell-Davis, 2007; Nunavet, 2010).

Rubah jarang mengejar kelinci dewasa dan tidak ada pula kelinci yang meninggalkan tempatnya (American Museum of Natural History, 1994).  Kalaupun pengejaran itu terjadi, itu tidak berlangsung lama karena gagal dan rubah tidak ingin gagal untuk kedua kalinya. Pada saat pengejaran (jika penyergapan gagal), kelinci cottontail dapat berlari zig-zag untuk membingungkan predator yang mengejarnya (Department of Environmental Protection, 2010). Jika dalam keadaan terjepit, kelinci cottontails juga dapat melakukan tindakan yang disebut "rabbit punch" yaitu kelinci akan melompat ke udara dan melewati bagian belakang predatornya, saat melayang di udara kelinci akan memberikan tendangan yang kuat di kepala atau leher predatornya menggunakan kaki belakangnya (Wildlife.com, 2009).

Untuk dapat menangkap kelinci dewasa, rubah harus bergantung baik melalui pengintaian (stealth) atau melalui penyergapan (ambush). Dalam melakukan pengintaian dan penyergapan, rubah membungkuk rendah ke tanah (Hanrahan, 2007) dan mengikutinya secara sembunyi-sembunyi penuh waspada, sambil mencoba untuk meminimalkan kebisingan dan peringatan visual dari mangsanya dengan mata tetap terfokus pada targetnya, gerakannya semakin dekat semakin lambat (Matheson, 1997) sampai ia siap menyergapnya. Jika sempat menyergapnya, ia akan dengan cepat menghilangkan keseimbangan mangsanya dengan berdiri di atasnya, menjepit dengan kedua kaki depannya, kemudian menggigitnya di kepala atau leher untuk membunuhnya (Hatfield, 2002).

Kelinci merupakan salah satu dari diet penting dari rubah. Dalam suatu studi terhadap rubah Hampshire, kelinci merupakan makanan rubah sekitar 30 persen pada musim panas dan sekitar 16 persen pada musim dingin. Sebagian besar dari total penangkapan rubah terdiri dari kelinci-kelinci liar yang muda. Studi lainnya, yang dilakukan di Polandia, menunjukkan bahwa rata-rata rubah mengkonsumsi enam kelinci dewasa dan tiga puluh lima kelinci muda setiap tahunnya (American Museum of Natural History, 1994).


Berdiri pada kaki belakang adalah respon standar dari kelinci ketika rubah mendekatinya di tempat terbuka. Akan tetapi, setiap kali rubah muncul dengan tiba-tiba dari persembunyian atau pengintaian terdekat, kelinci akan bergerak menjauh atau dengan setengah-berjongkok, sekuat tenaga meloloskan diri. Kelinci tidak pernah berdiri pada kedua kaki belakangnya ketika yang mucul adalah anjing atau predator lainnya, tetapi ia akan membungkuk lebih rendah dan akhirnya lari untuk meloloskan diri (American Museum of Natural History, 1994).

Umumnya, kelinci bergerak lambat dengan lompatan yang pendek, tetapi karena ketakutan mereka dapat berlari mencapai kecepatan hingga 18 mil per jam (Department of Environmental Protection, 2010).  Pada lapangan terbuka, rubah tidak akan mendekati kelinci pada jarak kurang dari tiga puluh meter ketika telah melihat kelinci berdiri pada kaki belakangnya. Ketika rubah menjauh, sekitar 70 persen dari kelinci akan segera kembali pada posturnya yang semula (merunduk atau membungkuk) dan akan kembali berdiri ketika mendeteksi adanya rubah yang mendekat (American Museum of Natural History, 1994).

Ketika rubah melihat seekor kelinci berdiri pada kaki belakangnya, ia memahami bahwa ia telah terlihat atau terdeteksi oleh kelinci dan bahwa serangan menyelinap tidak akan berhasil (American Museum of Natural History, 1994), sebuah sinyal bahwa permainan ini baru saja berakhir dan itu menguntungkan kedua hewan tersebut, karena menyimpan tenaga daripada pengejaran yang sia-sia.

Para zoologist telah mengamati sinyal untuk predator tersebut. Mereka menyebutnya sinyal pencegah pengejaran (pursuit deterrence signals) yang diketahui dari beberapa spesies lain. Klipspringers, semacam kijang kecil Afrika, memberikannya kepada black-backed Jackal (Canis mesomelas). Moorhens dan gallinules ungu memberikan sinyal yang sama kepada harriers rawa yang memangsanya, dan rusa

Penutup


Predasi atau pemangsaan merupakan proses yang sangat penting dalam mempengaruhi distribusi, kelimpahan, dan keanekaragaman jenis dalam komunitas ekologi. Dalam banyak kasus, predasi memiliki pengaruh yang kuat pada ukuran populasi predator dan mangsa. Pada kasus tertentu, meningkatnya ukuran populasi mangsa tertentu akan menghasilkan peningkatan yang sesuai dalam ukuran populasi predator tertentu (McGinley dkk, 2009). Di pihak lain, predasi antara mangsa tertentu dengan predator tertentu berpengaruh terhadap keberadaan species lainnya. Robley dkk (2004) melaporkan bahwa hiperpredasi yang terjadi antara kelinci dan rubah pada beberapa wilayah di Australia mengarah pada penurunan dan kepunahan spesies mangsa asli, seperti rat-kangaroos atau bandicoots, rufous rat-kangaroos (Aepyprymnus rufescens) yang hanya akan bertahan pada tempat dimana rubah dan kelinci langka.

Predasi yang baik dapat meningkatkan atau menurunkan jumlah spesies yang hidup berdampingan dalam komunitas, tergantung pada kesesuaian lingkungan dan status kompetitif dari spesies mangsa yang disukai (McGinley dkk, 2009). Sebagai contohnya, rubah, menurut hasil penelitian Delibes-Mateos dkk (2007) di Spanyol, hanya akan memangsa kelinci ketika populasi kelinci melimpah dan beralih ke mangsa lain ketika populasi kelinci langka. Predasi dalam kasus ini, memungkinkan lebih banyak spesies mangsa untuk hidup berdampingan dalam komunitas dari kemungkinan absennya predasi, maka hal ini dapat meningkatkan keberlimpahan (richness) spesies dalam komunitas (predator-mediated coexistence). Sebaliknya, jika rubah lebih suka memangsa kelinci, maka predasi akan mengurangi keberlimpahan (richness) species lainnya dalam komunitas, seperti yang terjadi di Australia (Robley dkk, 2004).

Dalam lingkungan yang menguntungkan bagi mangsa, persaingan di antara spesies mangsa akan menjadi lebih kuat, sehingga predasi menjadi penting dalam mengurangi pengucilan kompetitif (competive exclusion) di antara mangsa dan dengan demikian meningkatkan keberlimpahan (richness) spesies. Di sisi lain, dalam lingkungan yang tidak menguntungkan, kebanyakan spesies mangsa tertekan atau berada dalam kepadatan populasi yang rendah, maka predasi mungkin memiliki efek negatif pada species mangsa tersebut, dimana akan mengalami pengucilan kompetitif (competive exclusion) sehingga menurunkan kerberlimpahan (richness) spesies tersebut. Penurunan spesies mangsa asli yang mengarah pada kepunahan yang terjadi pada beberapa wilayah di Australia (Robley dkk, 2004) dapat sebagai contoh untuk kasus ini.

Predasi juga telah menjadi faktor penting yang membentuk perubahan sifat, baik predator maupun mangsa (McGinley dkk, 2004). Predasi yang kuat menyebabkan predator berevolusi dengan berbagai teknik untuk menangkap, menundukkan, atau mengeksploitasi mangsanya (misalnya, kecepatan berlari, gigi dan cakar yang tajam, dan kamuflase). Sementara, mangsa juga telah berevolusi dengan berbagai mekanisme pertahanan terhadap predator yang memungkinkan mereka untuk menghindari predator (misalnya, kecepatan, kamuflase, perilaku hati-hati, pertahanan fisik, dan pertahanan kimia serta kemampuan indera yang baik).

Rubah menggunakan strategi pengintaian dan penyergapan "duduk-dan-tunggu" untuk menangkap kelinci. Sementara, kelinci akan berdiri pada kedua kaki belakangnya jika mengetahui keberadaan rubah. Tetapi jika rubah muncul secara tiba-tiba untuk menyergapnya, maka kelinci akan berusaha meloloskan diri, karena memiliki kemampuan lari yang cepat jika dalam keadaan ketakutan.


REFERENSI

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar